Selasa, 10 September 2013

CerpenKuu



Kerja Sampingan, Anak Kewajiban
       Ayah, ibu, adik dan aku adalah keluarga utuh yang bahagia, dalam rumah kecil bertabur kasih sayang. Banyak orang iri dengan keharmonisan keluarga kecilku. Terutama aku, aku bangga dan amat bangga hidup dalam keharmonisan keluarga yang nyata dan mungkin tidak dirasakan oleh anak seumurku. Memiliki orang tua lengkap adalah suatu keistimewaan tersendiri untukku. Mereka memberiku kasih sayang, memberi keteduhan dalam kehidupanku, mengajarkan aku melakukan sesuatu dengan penuh kasih dan semangat. Rasa banggaku terhadap mereka tak akan dapat hilang dan tak akan bisa ditebus dengan apapun.

          Suatu hari, keluargaku ini mengalami kesusahan ekonomi yang begitu hebat. Hingga pada akhirnya ibuku memutuskan untuk bekerja, niatnya membantu ekonomi keluarga yang sudah terpora-poranda. Awalnya, ayahku sama sekali tidak setuju dengan keputusan ibu itu. “Cukup ayah saja yang kerja, kewajiban ibu hanya mengurus anak-anak di rumah.” kata ayah dengan tegas. Tapi seakan ibu di butakan oleh kesusahan ekonomi yang membelit keluarga ini. Niatnya pun semakin keras karena adanya kabar berdirinya suatu pabrik baru yang lokasinya tak jauh dari rumah. Pertengkaran hebat pun tak bisa dihindari karena perbedaan pendapat antara ayah dan ibuku. Tetapi, rasa pengertian antara keduanya tak bisa di kalahkan oleh keegoisan mereka masing-masing. Mereka pun sudah menemukan jalan tengah, dengan ayah yang mengizinkan ibu bekerja. Aku pun tidak merasa ada masalah saat mendengar keputusan ayahku tersebut, karena aku merasa sudah dewasa dan bisa mengurus sebagian pekerjaan rumah dan membimbing adikku saat ibu bekerja.

          Waktu pun terus berputar, sudah 3 bulan aku di tinggal ibu bekerja. Selama 3 bulan yang lalu itu pun ibu masih meluangkan waktu setibanya ia di rumah bersama aku dan adikku, ia pun masih mengerjakan sebagian pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Tapi, pada bulan berikutnya aku merasa tak seperti biasanya. Setibanya ibu di rumah, ibu langsung tidur dan tak berkumpul dengan anak-anaknya. Yang biasanya ia menyelesaikan perkerjaan rumah pun sekarang tak sudah tak di sentuhnya lagi. Awalnya aku sangat amat kecewa, seakan ketakutanku menjadi nyata saat ibu tak lagi menghiraukan anak-anaknya karena kesibukan kerjanya. Semakin hari perlakuan ibu semakin berubah, ia tidak pernah meluangkan waktunya untuk anak-anaknya. Aku sangat kecewa dan berfikir lebih jauh lagi jika ibu terus seperti ini. Aku hanya bertemu dan bertatap muka dengannya hanya saat membantunya memasak dan sebelum dia berangkat, setelah dia pulang kerja pun aku tak pernah lagi melihatnya ia tersenyum kepadaku. Saat aku mengadu kepada ayah, ayah mencoba menjelaskan kepadaku “Nak, kamu harus sabar, kamu harus bisa memahami apa yang di rasakan ibumu saat ini. Apa kamu tahu bagaimana rasanya orang yang sudah bekerja keras? Pastinya rasa lelah menghampirinya, dan resiko dalam suatu pekerjaan tidak hanya satu. Kamu harus bisa memahami nak.” Kata ayah dengan lirih. “tapi ayah, aku serasa tak dihargai di rumah ini. Semuanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Aku juga capek yah harus seperti ini terus, tiap hari aku membagi waktuku untuk sekolah dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Ayah pun ada di rumah ketika pagi sebelum berangkat dan waktu malam saat ayah pulang, itu pun aku tak berani mengusik ayah ibu karna aku tau, kalian pasti capek. Tapi, pernahakah ayah ibu memberikan perhatian lebih kepada aku dan adikku seperti saat dulu? Bahkan ayah ibu pun tak pernah menanyakan perutku terisi atau belum.” Ayah pun terharu dan ikut menangis saat air mataku menetes, dan ia hanya berkata “sabar nak sabar, pasti nanti ibumu sadar. Maafkan ayah juga ya nak.. ayah akan berusaha jadi yang lebih baik lagi untuk anak-anak ayah!” aku hanya bisa mengangguk.

          Mungkin karena terlalu capek dan sering telat makan di tambah juga pikiran yang tidak karuan, aku pingsan dan tak sadar. Rumah sakit adalah tempat pertama yang kulihat saat aku sadar, aku terbaring di temani ayah dan ibuku. Saat aku sadar itu, seketika ibu langsung menangis dan memegang erat tanganku. Aku tak tega melihatnya menangis dan seakan hatiku tergores ikut menangis. Ia berkata “maafkan ibu nak, maafkan ibu..” aku menjawab “ibu, aku sangaat sayang sekali sama ibu dan ayah, aku hanya ingin perhatian dan kasih sayang yang dulu. Ibu boleh saja bekerja, tapi ibu punya kewajiban atas anak-anak ibu, ibu bukan lagi anak umur 17 tahun, ibu sudah berumah tangga dan mengurus semua yang ada di dalamnya, aku tidak meminta untuk di nomer 1 kan tapi cobalah mengerti keinginan hati dan perasaanku. Ibu maafkan aku juga, mungkin aku terlalu banyak mengeluh. Maafkan aku ibu ayah ..” 

Akhirnya walaupun kedua orang tuaku bekerja, setelah kejadian itu mereka sangat amat memperhatikan anak-anaknya. Keluarga yang terselimuti kasih sayang kini selalu hadir dalam kehidupanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar