Kerja
Sampingan, Anak Kewajiban
Ayah, ibu, adik dan aku adalah
keluarga utuh yang bahagia, dalam rumah kecil bertabur kasih sayang. Banyak
orang iri dengan keharmonisan keluarga kecilku. Terutama aku, aku bangga dan
amat bangga hidup dalam keharmonisan keluarga yang nyata dan mungkin tidak
dirasakan oleh anak seumurku. Memiliki orang tua lengkap adalah suatu
keistimewaan tersendiri untukku. Mereka memberiku kasih sayang, memberi
keteduhan dalam kehidupanku, mengajarkan aku melakukan sesuatu dengan penuh
kasih dan semangat. Rasa banggaku terhadap mereka tak akan dapat hilang dan tak
akan bisa ditebus dengan apapun.
Suatu hari,
keluargaku ini mengalami kesusahan ekonomi yang begitu hebat. Hingga pada
akhirnya ibuku memutuskan untuk bekerja, niatnya membantu ekonomi keluarga yang
sudah terpora-poranda. Awalnya, ayahku sama sekali tidak setuju dengan
keputusan ibu itu. “Cukup ayah saja yang kerja, kewajiban ibu hanya mengurus
anak-anak di rumah.” kata ayah dengan tegas. Tapi seakan ibu di butakan oleh
kesusahan ekonomi yang membelit keluarga ini. Niatnya pun semakin keras karena
adanya kabar berdirinya suatu pabrik baru yang lokasinya tak jauh dari rumah.
Pertengkaran hebat pun tak bisa dihindari karena perbedaan pendapat antara ayah
dan ibuku. Tetapi, rasa pengertian antara keduanya tak bisa di kalahkan oleh
keegoisan mereka masing-masing. Mereka pun sudah menemukan jalan tengah, dengan
ayah yang mengizinkan ibu bekerja. Aku pun tidak merasa ada masalah saat mendengar
keputusan ayahku tersebut, karena aku merasa sudah dewasa dan bisa mengurus
sebagian pekerjaan rumah dan membimbing adikku saat ibu bekerja.
Waktu pun terus
berputar, sudah 3 bulan aku di tinggal ibu bekerja. Selama 3 bulan yang lalu
itu pun ibu masih meluangkan waktu setibanya ia di rumah bersama aku dan
adikku, ia pun masih mengerjakan sebagian pekerjaan rumah yang belum
terselesaikan. Tapi, pada bulan berikutnya aku merasa tak seperti biasanya.
Setibanya ibu di rumah, ibu langsung tidur dan tak berkumpul dengan
anak-anaknya. Yang biasanya ia menyelesaikan perkerjaan rumah pun sekarang tak
sudah tak di sentuhnya lagi. Awalnya aku sangat amat kecewa, seakan ketakutanku
menjadi nyata saat ibu tak lagi menghiraukan anak-anaknya karena kesibukan kerjanya.
Semakin hari perlakuan ibu semakin berubah, ia tidak pernah meluangkan waktunya
untuk anak-anaknya. Aku sangat kecewa dan berfikir lebih jauh lagi jika ibu
terus seperti ini. Aku hanya bertemu dan bertatap muka dengannya hanya saat
membantunya memasak dan sebelum dia berangkat, setelah dia pulang kerja pun aku
tak pernah lagi melihatnya ia tersenyum kepadaku. Saat aku mengadu kepada ayah,
ayah mencoba menjelaskan kepadaku “Nak, kamu harus sabar, kamu harus bisa
memahami apa yang di rasakan ibumu saat ini. Apa kamu tahu bagaimana rasanya
orang yang sudah bekerja keras? Pastinya rasa lelah menghampirinya, dan resiko
dalam suatu pekerjaan tidak hanya satu. Kamu harus bisa memahami nak.” Kata
ayah dengan lirih. “tapi ayah, aku serasa tak dihargai di rumah ini. Semuanya
sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Aku juga capek yah harus seperti ini
terus, tiap hari aku membagi waktuku untuk sekolah dan menyelesaikan pekerjaan
rumah. Ayah pun ada di rumah ketika pagi sebelum berangkat dan waktu malam saat
ayah pulang, itu pun aku tak berani mengusik ayah ibu karna aku tau, kalian
pasti capek. Tapi, pernahakah ayah ibu memberikan perhatian lebih kepada aku
dan adikku seperti saat dulu? Bahkan ayah ibu pun tak pernah menanyakan perutku
terisi atau belum.” Ayah pun terharu dan ikut menangis saat air mataku menetes,
dan ia hanya berkata “sabar nak sabar, pasti nanti ibumu sadar. Maafkan ayah
juga ya nak.. ayah akan berusaha jadi yang lebih baik lagi untuk anak-anak
ayah!” aku hanya bisa mengangguk.
Mungkin karena
terlalu capek dan sering telat makan di tambah juga pikiran yang tidak karuan,
aku pingsan dan tak sadar. Rumah sakit adalah tempat pertama yang kulihat saat
aku sadar, aku terbaring di temani ayah dan ibuku. Saat aku sadar itu, seketika
ibu langsung menangis dan memegang erat tanganku. Aku tak tega melihatnya
menangis dan seakan hatiku tergores ikut menangis. Ia berkata “maafkan ibu nak,
maafkan ibu..” aku menjawab “ibu, aku sangaat sayang sekali sama ibu dan ayah,
aku hanya ingin perhatian dan kasih sayang yang dulu. Ibu boleh saja bekerja,
tapi ibu punya kewajiban atas anak-anak ibu, ibu bukan lagi anak umur 17 tahun,
ibu sudah berumah tangga dan mengurus semua yang ada di dalamnya, aku tidak
meminta untuk di nomer 1 kan tapi cobalah mengerti keinginan hati dan
perasaanku. Ibu maafkan aku juga, mungkin aku terlalu banyak mengeluh. Maafkan
aku ibu ayah ..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar